Sponsor

GURU MERDEKA?? BISAKAH..?

 Oleh: DIAN SAVITRI, S.Pd.

“Di saat guru menggenggam jiwa merdeka ke dalam kelas, para siswa pun akan terbawa. Dengan jiwa merdeka itu, anak akan terasah kreativitasnya, mereka tumbuh menjadi pribadi yang merdeka, bertanggung jawab dan sehat fisik serta mental”.

Ki Hajar Dewantara, dalam salah satu ajarannya menyatakan bahwa jiwa merdeka diperlukan dalam menjalankan pendidikan untuk mencapai perkembangan kepribadian anak bangsa. Azas kemerdekaan sendiri merupakan darma kedua dari Pancadarma Taman Siswa. Lebih lanjut beliau menjelaskan bahwa jiwa yang merdeka dimaknai sebagai kepemilikan hak untuk bebas melakukan sesuatu. Merdeka dan bebas di sini dilakukan secara bertanggung jawab. Dengan demikian meskipun menyandang status sebagai jiwa merdeka, kita masih dibatasi oleh norma yang berlaku di masyarakat, sehingga tidak berbuat ‘seenak hati’.

Dalam kenyataannya, profesi guru belum sepenuhnya merdeka. Sistem pendidikan di Indonesia dirasa masih memberikan belenggu kepada guru. Padahal semestinya guru harus merdeka dalam hal cara mengajar, seperti bebas menentukan metode belajar. Merdeka mengajar diharapkan mampu menghantarkan siswa ke arah yang lebih baik. Siswa yang merdeka belajar nantinya dapat memimpin dirinya sendiri, keluarga dan bangsanya.

Theofilus Woge, seorang guru dari Flores yang telah berpengalaman mengajar selama 35 tahun membuat klasifikasi seperti apa guru yang merdeka itu. Dalam bukunya “Menjadi Guru Merdeka”, ia mengatakan bahwa ciri-ciri guru yang merdeka, yaitu: Guru yang bebas dari: (1) rasa takut, (2) ingin menjadi seperti, (3) ketergantungan kepada pihak lain. Guru yang bebas untuk: (1) mencari kedalaman diri, (2) mengambil bukan hanya kesimpulan tetapi kedalaman dan kearifan, (3) mengembangkan kedalaman tugasnya, (4) mengembangkan profesinya, (5) mengemukakan pendapat dan berorganisasi, (6) menjaga harga diri, dan (7) memberdayakan.

Sayangnya, ‘kaku’nya tradisi dan sistim pendidikan membuat guru terbelenggu. Guru menjadi tidak merdeka. Guru ketakutan untuk dinilai, untuk selalu dianggap berhasil, untuk patuh kepada atasannya.

Belenggu lainnya, yang mungkin biasa menimpa seorang guru, misalnya ketika memiliki tugas tambahan, entah sebagai wakil kepala sekolah, pustawakan maupun bendahara sekolah. Secara tidak langsung, tugas tambahan tersebut menyita waktu dan tenaga yang seharusnya diberikan untuk mengembangkan kegiatan belajar siswa. Adapula guru yang tidak merdeka melakukan inovasi karena adanya teman sejawat yang tidak mendukung, alih-alih bekerjasama mengembangkan metode pembelajaran. Guru tersebut seakan mendapat perundungan.

Hambatan lain yang menyebabkan jiwa guru tidak merdeka adalah tentang memberi penilaian kepada siswa. Sistem yang ada mengharuskan guru tidak boleh memberi nilai di bawah Kriteria Ketuntasan Minimal (KKM). Sangat berbeda dengan dulu di mana guru dapat menorehkan nilai merah di laporan belajar siswa. Rasa bimbang menyerang para guru yang ingin memberikan nilai apa adanya kepada siswa yang memang tidak tuntas, dengan catatan sudah melakukan pengayaan. Bagaimana siswa memahami sejauh mana ketercapaian belajarnya jika menilai pun masih diatur.

Di saat guru menggenggam jiwa merdeka ke dalam kelas, para siswa pun akan terbawa. Dengan jiwa merdeka itu, anak akan terasah kreativitasnya, mereka tumbuh menjadi pribadi yang merdeka, bertanggung jawab dan sehat fisik serta mental.

Akhirnya, guru yang ditekan jiwa merdekanya berimbas kepada siswa yang nantinya semakin kerdil jiwanya. Sudah seharusnya guru menjadi pribadi yang merdeka; merdeka menentukan bahan ajar, memilih media ajar dan membawa siswa kepada tujuan pendidikan. Satu yang perlu diingat, merdeka di sini adalah sesuatu yang terukur dan dapat dipertanggungjawabkan.**

Sumber : disdikbb

Posting Komentar

0 Komentar