Sukir, seorang buruh serabutan dengan penghasilan yang kadang ada kadang enggak (lebih sering enggaknya), tiba-tiba punya ide brilian: mendirikan Tempat Penitipan Wedus (TPW). Alasannya simpel—di kampungnya banyak orang pelihara wedus, tapi sibuknya gak kalah sama menteri, jadi nggak sempat ngurusin hewannya sendiri.
Bulan pertama, baru ada
delapan ekor wedus yang dititipkan. Tapi di bulan kedua, ketiga, dan
seterusnya, warga mulai berdatangan kayak lagi rebutan sembako. Wedus pun
berdatangan dari berbagai penjuru kampung.
“Murah lho, cuma lima ribu sehari per ekor. Perawatan maksimal. Mandi dua kali, makan terjamin, pijet refleksi… pokoknya wedus dijamin sehat wal afiat,” kata Gatot, salah satu pelanggan TPW, saat diwawancarai oleh jurnalis media online yang statusnya belum tersertifikasi Dewan Pers, tapi gaya wawancaranya seolah lebih YES dari Karni Ilyas .
Tanpa pernah ngerasain
pahit-manisnya jadi mahasiswa, Sukir ternyata sukses mengelola bisnis penitipan
wedus. “Menurut database kami, sekarang ada 555 ekor wedus di TPW, dengan tiga
karyawan tetap,” ujar Sukir sambil membusungkan dada.
Karena jumlah wedus makin banyak dan makin semrawut, Sukir naikin tarif dan ngajak Pono—lulusan kedokteran hewan dari universitas bergengsi—buat bantu ngurusin bisnisnya. Dengan sentuhan profesional Pono, usaha Sukir meledak bak petasan lepas kontrol.
Total ada 2.136 ekor wedus yang percaya pada TPW-nya Sukir. Sepuluh tetangganya yang sebelumnya nganggur dan kerjaannya cuma ngopi sama nyinyir akhirnya ikut direkrut jadi pegawai.
Perkembangan TPW makin
ngebut. Enam bulan kemudian, atas saran Pono, TPW di-upgrade jadi Sekolah Wedus
ber-NPSN, lengkap dengan asrama dan izin resmi pemerintah. Yang awalnya cuma
ngurus kesehatan dan keamanan wedus, kini berubah fungsi jadi tempat pendidikan
dan pelatihan wedus biar makin pinter dan berbakat.
“Mau wedus sampean bisa nyanyi? Bisa nulis? Bisa baca? Bisa acting? Bisa nyetir? Bisa nyuci piring? Pokoknya mau disuruh ngapa-ngapain, bawa aja ke sini. Kita garansi tiga tahun. Biaya? Bisa diatur, rek!” Begitu kira-kira bunyi iklan Sekolah Wedus yang terpampang di puluhan reklame hampir di setiap pojok kampung.
Wedus yang masuk makin bejibun. Lowongan pegawai dibuka besar-besaran. Pelamarnya juga rame: mulai dari S2, S1, SMA, SMK, SMP, bahkan SD pun ikut antre, semua demi menaklukkan lowongan yang jumlahnya cuma seiprit.
Promosi nggak perlu repot. Nama Sekolah Wedus melejit begitu saja. Setahun kemudian, wedus-wedus dari berbagai daerah—bahkan yang lintas kecamatan—datang khusus buat "sekolah".
Karena dinilai berjasa
membantu Raja mengurangi angka pengangguran, Sukir mendapatkan panggilan
kehormatan untuk menghadap ke istana.
Sesampainya di istana,
Sukir diberi sambutan meriah. Karpet merah digelar, tapi karena anggaran istana
lagi dipotong, karpet merahnya cuma sepanjang 3 meter. Setelah itu lantainya
langsung keramik biasa.
Raja dengan wajah
sumringah berkata,
“Sukir… kau telah
membawa kejayaan pada negeri ini. Pengangguran turun, wedus jadi pinter, bahkan
ada wedus yang viral karena bisa joget Chacha Slide. Maka, mulai hari ini… aku
angkat kau menjadi Menteri Urusan Wedus Nasional!”
Istana langsung riuh. Para menteri lain melongo. Ada yang tepuk tangan, ada
yang nyengir kecut, ada juga yang bisik-bisik,
“Lha ini negara apa kebon binatang?”
Sukir, yang biasanya cuma ngurus sandal jepit hilang di mushola, kini resmi memimpin kementerian. Ia pun pulang kampung dengan iring-iringan pasukan berkuda… yang semuanya diganti wedus demi menghormati menteri baru.
Warga menyambutnya dengan meriah. Bahkan ada yang sampai sujud syukur melihat Sukir jadi orang besar. Sayangnya, wedus-wedus di kampung juga ikut-ikutan sujud, bikin suasana mendadak kacau karena tanduk-tanduk mereka saling nyodok. Dan sejak hari itu, Sekolah Wedus milik Sukir semakin laris. Para wedus antre daftar sampai bikin macet tiga RT.
Namun… di balik semua
kejayaan itu…
Pelan-pelan muncul
kejadian aneh.
Suatu malam, Pono datang ke kantor Sukir sambil ngos-ngosan.
“Kir… ada yang nggak beres!”
“Wedus-wedus di angkatan
pelatihan terbaru… berubah! Mereka semakin pintar… terlalu pintar.”
Sukir mengerutkan dahi.
“Apa mereka bisa
matematika integral?”
“Lebih parah… ada yang
ketahuan ngoprek komputer asrama! Ada juga yang niru tanda tanganmu, Kir.”
Sukir langsung berdiri.
“Kok iso? Wedus pinter
tanda tangan? Buat apa?”
Dari luar gedung,
terdengar ribuan suara “Mbeeeeeek…” bergema.
Namun kali ini…
suaranya kompak, ritmis, seperti chant suporter sepak bola.
Sukir dan Pono menatap keluar jendela.
Pono menelan ludah.
“Kayaknya, mereka lagi merencanakan sesuatu"
Di bagian depan, salah satu wedus memakai seragam sekolah lengkap, lengkap dengan pin “Juara Umum”.
Dan di tanah, terbentang
banner besar bertuliskan:
“DEKLARASI GERAKAN WEDUS MERDEKA."
Dan itu baru awalnya.
BERSAMBUNG ...................................

2 Komentar
👍
BalasHapus😁
HapusSILAHKAN TULIS KOMENTAR KAMU DISINI