Sponsor

Berkaos Oblong. Menteri Pendidikan Masuk Kelas

Menteri Pendidikan Kebudayaan Riset dan Teknologi Nadiem Makarim hadir di sebuah kelas memakai kaus oblong bertuliskan "Merdeka Belajar". 

Ilustrasi (sumber:google)

Pikiran sederhana saya langsung mempertanyakan. Bolehkah seseorang masuk ke ruangan kelas, dalam kegiatan belajar mengajar, dengan pakaian seperti itu? Jawaban umumnya, tentu tidak boleh. Tapi bagaimana kalau Menteri Pendidikan yang melakukannya? Ini tentu jadi sebuah kasus yang membingungkan.

Sama saja halnya dengan pertanyaan, bolehkan pegawai Kementerian Pendidikan datang ke kantor untuk bekerja dengan pakaian seperti itu? Sepertinya masih belum boleh.

Nadiem Makarim hadir di sebuah kelas di sekolah, berdiri di hadapan murid-murid yang memakai seragam adalah gambaran simbolik tentang kesenjangan antara gagasan pendidikan Nadiem dengan kenyataan di dunia pendidikan Indonesia. Gagasan Nadiem mengusung paham kebebasan kreatif, sedangkan dunia pendidikan kita masih terpaku pada pola pikir yang terpola dan seragam.

Nadiem Makarim mencanangkan gerakan merdeka belajar. Konsep dasarnya adalah kemerdekaan dan kemandirian. Sekolah, bahkan guru-guru, diberi kebebasan untuk menentukan cara mengajarkan materi kepada murid-murid.

Mereka juga bebas memilih komponen-komponen materi pelajaran dalam kurikulum. Mereka diharapkan mandiri dalam mengembangkan metode pengajaran.

Gagasan itu sebenarnya terlalu tinggi untuk sekolah-sekolah dan guru-guru kita. Berbagai persoalan berat membelit para guru. Banyak yang masih bermasalah dengan kompetensi. Banyak guru yang masih keteteran dalam penguasaan materi pelajaran yang mereka asuh. Masih banyak pula yang memahami materi dengan konsep yang salah.

Saya suka memperhatikan tulisan yang dibuat oleh guru-guru, dalam bentuk materi pelajaran, soal tes, atau pengumuman. Masih banyak guru yang menulis dengan ejaan dan tata bahasa yang salah. Kadang-kadang saya berikan catatan koreksi atas kesalahan penulisan maupun konsep dalam soal yang diberikan kepada anak saya.

Dalam obrolan dengan guru-guru IPA saya juga menemukan berbagai kesalahan pemahaman. Ada misalnya, guru yang menganggap gelombang suara adalah gelombang elektromagnetik. Itu sebuah kesalahan fatal.

Guru-guru yang masih bermasalah dalam soal pemahaman terhadap materi pelajaran mustahil diajak untuk mengajar dengan merdeka.

Itu baru satu persoalan. Persoalan lain, metode pengajaran selama ini adalah metode hafalan. Murid dianggap menguasai materi pelajaran kalau ia bisa memilih dengan tepat pilihan jawaban pada kertas soal ujian. Fokusnya lebih pada bunyi teks di buku pelajaran. Itulah fokus metode pengajaran di kelas.

Metode ini hendak diubah menjadi pengajaran yang menekankan proses berpikir berbasis pada pemahaman konsep. Ini sebuah tuntutan lompatan yang sangat jauh. Sejauh tuntutan perubahan dari siswa yang masuk kelas memakai seragam, menjadi siswa yang boleh masuk kelas dengan kaus oblong tadi.

Ada begitu banyak hambatan besar yang harus dilompati untuk bisa mewujudkan hal itu. Peliknya, prosesnya harus dimulai dengan perombakan kurikulum. Ini selalu jadi persoalan klise dalam pendidikan kita. Kurikulum lama belum selesai diimplementasikan, muncul kurikulum baru. Muncullah kesan, ganti menteri, ganti kurikulum.

Perlu waktu lama untuk melakukan perubahan fundamental dalam pendidikan kita. Sayangnya, para menteri pendidikan tidak pernah punya arah yang serupa. Demikian pula para presiden. Begitu menteri berganti, kebijakan ikut berganti. Akibatnya, tidak pernah ada proses perubahan yang tuntas.

Nadiem akan mengulangi sejarah menteri-menteri sebelumnya. Proses perubahan yang ia desain tidak akan berjalan tuntas saat periode kabinet selesai. Nanti menteri yang baru akan mengubahnya lagi. Begitu seterusnya.

Menteri Pendidikan memakai kaus oblong di kelas mungkin hanya akan jadi pertunjukan yang tak lagi bisa kita saksikan di lain waktu


Penulis : Hasanudin Abdurakhman (Wartawan detikNews)

Posting Komentar

0 Komentar