Setiap kali tanggal merah bertema nasional datang — entah itu Hari Sumpah Pemuda, Proklamasi, atau Hari Pahlawan — kita langsung sibuk. Tapi bukan sibuk meneladani semangat para pejuang, melainkan sibuk bikin twibbon, caption bijak, dan poster ucapan yang “estetik”.
Begitu tanggalnya lewat, postingan pun ganti lagi jadi healing tipis-tipis atau keluhan kerjaan. Semangat nasionalisme? Ya… ikut hilang bareng notifikasi yang tenggelam.
![]() |
Seremoni Jalan, Makna Belum Tentu
Peringatan hari besar nasional sering terasa megah di luar, tapi hampa di dalam. Misalnya waktu Hari Sumpah Pemuda. Ada upacara, pidato, lomba-lomba seru, tapi habis itu? Ya balik lagi ke rutinitas. Kadang malah ribut karena kalah lomba.
Proklamasi pun sama. Harusnya jadi momentum refleksi perjuangan, tapi yang heboh malah siapa yang salah baca teks atau nggak hafal lagu “Hari Merdeka.” Intinya, seremoni jalan terus, makna jalan di tempat.
Dari Sumpah Pemuda ke Sumpah Netizen
Dulu pemuda bersatu melawan penjajah. Sekarang? Bersatu di kolom komentar—buat debat siapa yang paling benar.
Kalau di-update, Sumpah Pemuda zaman sekarang mungkin berbunyi:
“Kami putra dan putri Indonesia, bersatu di dunia maya, namun terpecah di grup WhatsApp.”
Kita jago bikin kata-kata heroik, tapi sering lupa menerapkannya. Begitu selesai upload poster, ya sudah, semangatnya ikut offline.
Poster Boleh, Aksi Lebih Keren
Bikin poster ucapan nggak salah. Tapi lebih keren kalau dibarengi aksi nyata. Misalnya, pas Hari Lingkungan Hidup, jangan cuma upload gambar pohon, tapi tanam satu beneran.
Pas Hari Pahlawan, bukan cuma tulis “Terima kasih pahlawan,” tapi berbuat baik di sekitar kita — bantu teman, hormati guru, atau nggak nyampah sembarangan.
Bangsa ini butuh lebih banyak aksi, bukan cuma caption bijak. Nasionalisme itu bukan proyek satu hari, tapi gaya hidup yang dijalani tiap hari.
Saatnya Dari Seremoni ke Aksi
Peringatan hari besar seharusnya bukan cuma soal “ingat sejarah”, tapi juga “lanjutkan perjuangan.” Kalau dulu lawan penjajah, sekarang kita lawan malas, hoaks, dan apatisme.
Bayangkan kalau semangat Sumpah Pemuda benar-benar hidup: dunia maya bakal lebih positif, debat berubah jadi diskusi, dan orang-orang lebih peduli, bukan nyinyir.
Cinta Tanah Air Itu Konsisten
Kita nggak harus berhenti bikin seremoni — itu bagian dari penghormatan. Tapi jangan berhenti di situ. Hidupkan maknanya lewat tindakan sederhana setiap hari.
Karena cinta tanah air bukan diukur dari seberapa keren desain postermu, tapi seberapa nyata kamu menjaga semangat bangsamu — bahkan ketika lampu upacara sudah dimatikan.
Semoga, tulisan ini bermanfaat. Amiin.

2 Komentar
Keren Pak Herlan. Penuh dengan makana tiap kalimat yang ditulis.
BalasHapusMaturnuwun mas anonim
HapusSILAHKAN TULIS KOMENTAR KAMU DISINI